Lewati navigasi

Bagi sebagian mahasiswa, kegiatan menulis bukanlah suatu hal yang penting. Menulis hanyalah kegiatan yang terjadi di dalam kelas dan saat menulis laporan. Mereka kebanyakan belum memahami pentingnya menulis bagi kehidupan mereka yang akan datang. Menulis tidak hanya kegiatan membuat artikel. Menulis juga mencakup seluruh kegiatan yang melibatkan pikiran, dan hati sebagai komponen utamanya.

Menulis bukanlah hanya “menyibukkan” tangan untuk bekerja, namun juga melatih otak untuk memikirkan judul apa yang kira-kira pantas dijadikan bahan untuk sebuah tulisan. Saya merasakan banyak sekali manfaat menulis bagi kehidupan saya. Salah satunya ialah kemudahan bagi saya untuk mengembangkan apa yang ada di dalam pikiran dan hati untuk dituangkan ke atas sebuah media dengan kata-kata sebagai kekuatan penarik massa. Bayangkan jika anda hanya memendam perasaan yang anda rasa dalam hati saja. Orang lain pun tidak akan tahu bagaimana perasaan anda yang mengharu biru terhadap seseorang atau sakitnya patah hati yang anda rasakan, misalnya.

Dalam hal ini, saya menyadari bahwa kebanyakan orang berkata bahwa mereka tidak dapat membuat sebuah karya tulis. Entah itu cerpen, artikel, puisi, pantun, dan sebagainya. Namun saya yakin menulis bukanlah suatu bakat. Menulis ialah kebiasaan yang dapat dilatih dan semua orang mampu melakukannya. Bagaimana jika orang tersebut cacat? Sekali lagi, menulis tidak hanya “menyibukkan” tangan untuk bekerja. Kekuatan tulisan itulah yang lebih penting.

Seorang mahasiswa pun dituntut untuk mengembangkan diri mereka dalam hal tulis-menulis ini. Tak hanya dibutuhkan dalam laporan, namun karya tulis yang lain pun perlu mendapat perhatian dari mahasiswa tersebut. Misalnya saja seorang mahasiswa yang mampu menulis puisi. Tak perlu terlalu romantis, yang pasti dapat mewakili apa yang anda rasakan.

Entah bagaimana mahasiswa yang tak pernah membuat karya tulis sama sekali. Bagaimana mereka dapat membuat sebuah tesis? Apakah hanya mengandalkan terbatasnya kemampuan bahasa yang mereka miliki saja? Tentu saja tidak. Menulis pun menuntut kita untuk terus mengembangkan kosakata yang kita miliki untuk membuat tulisan kita menjadi lebih berkualitas.

Maka dari itu, budayakan menulis di kalangan mahasiswa. Mulailah dari tulisan yang sederhana. Berlanjut ke tulisan yang lebih panjang dan lebih bermutu. Yakinlah bahwa semua orang mampu menciptakan sebuah karya. Dan yakinlah bahwa kegiatan tulis-menulis yang anda biasakan sejak dini akan bertahan meskipun anda semakin tua. Selamat berkarya!

Malam, dengarkan aku…
Temani aku saat ini…
Temani aku untuk meluangkan rasa yang berlebihan dalam fikiran dan hatiku…

Malam, aku tahu bahwa aku bodoh…
Membiarkan diriku terhanyut oleh godaan seorang makhuk-Nya…
Dan kemudian tenggelam dalam godaannya…

Malam, aku tahu dia tidak main-main…
Aku tahu kami saling suka…
Tapi mengapa aku masih merasa hatiku penuh luka???

Malam, ada yang berkata bahwa cinta itu tidak menyakiti…
Ada yang berkata bahwa cinta itu mengubah duka menjadi suka…
Tapi mengapa aku merasa itu semua tak ada guna???

Malam, aku menyadari bahwa aku lemah dan rapuh…
Aku memang tak ada apa-apanya dibanding Penciptamu…
Bodohnya aku membiarkan diriku tercabik-cabik dalam rindu…
Rindu yang tak menentu untuk siapa tertuju…
Dan bukan untuk Cinta Sejatiku…

Malam, aku ingin kau tahu bahwa aku ingin sekali mencintai Penciptamu sepenuh hatiku…
Namun rasanya aku tak dapat luput dari rasa yang mengharu-biru terhadap lelaki itu…
Haruskan kuhilangkan cintaku kepadanya untuk mendapatkan cinta dari Penciptamu???
Haruskah aku merendahkan diriku lebih dari seorang gelandangan kepada rajanya???
Haruskah aku merendahkan diriku lebih dari seorang budak kepada tuannya???

Rasanya mataku dan hatiku tak menentu…
Malam, dapatkah kau mempertemukan aku dengan Penciptamu sekejap waktu???
Agar aku memantapkan hatiku bahwa Dia lah Cinta Sejatiku…

Ya Rabbii, cintailah aku…

patah hati

patah hati


Aku tahu bahwa aku tak akan dapat memilikimu…

Aku pun tahu bahwa dirimu tak ingin memilikiku…

Maka dari itu, izinkan aku menjauh darimu…

Karena aku tahu bahwa kita tak akan pernah bersatu…

hujan...

Kedatanganmu selalu menyenangkan jiwaku…

Tatapanmu mengingatkanku akan hujan yang meneduhkan hatiku…

Suaramu mengingatkanku akan rinai hujan yang menenangkan jiwaku…

Wangi tubuhmu mengingatkanku pada wanginya tanah yang basah oleh hujan yang selalu mendamaikan tidurku…

Sosokmu mengingatkanku pada hujan yang selalu memberi banyak manfaat bagi tempat yang ia tuju…

Keberanianmu mengingatkanku pada banjir akibat hujan yang selalu menerjang, melaju…

Auramu mengingatkanku pada sejuknya suasana hujan yang menentramkan hatiku…

Dan aku ingin engkau pun menganggapku sebagai “hujan”mu…

Entah kenapa pagi ini saya ambil kalimat ini sebagai judul artikel saya. Tiba-tiba saja ide itu muncul (ide itu memang nggak sopan, tiba-tiba nyelonong masuk ke dalam otak. hahaha…) ketika percakapan antara kawan saya dan saudara saya terjadi. Berikut cuplikannya (halah…):

“Mbak, ada produk buat ngilangin selulit lho…,” kata kawan saya.
“Oh ya? Ah tapi mahal,” kata saudara saya.

Kemarin saya melihat katalog produk kecantikan itu. Dan memang harganya “selangit” bo!!! (untuk kantong anak kuliahan semacam saya ini, harga lima puluh ribu-pun dipikir-pikir lagi. hahaha…). Bisa-bisa stop jajan seminggu!!! Dan akhirnya saya tidak jadi membelinya. Saya senyum-senyum saja medengar percakapan mereka berdua. Duh, wanita sekarang memang terbosesi menjadi cantik ya? hihihi…

Entah kenapa saya pun berpikir, apakah cantik secara fisik itu menjadi tolak-ukur bagi seorang wanita untuk menjadi “primadona”? Dan menurut pengamatan saya sekarang ini, jawaban dari pertanyaan itu adalah “iya”.

Setiap pria pasti melirik wanita yang cantik, modis, dan (tentu saja) langsing. Misalnya dia berjilbab, pasti dilirik yang berwajah manis atau “imyut-imyut” (maaf Bang Joe. saya pinjam kata-katanya sebentar ya… hehehe…). Tak dipungkiri lagi, saya yang merasa biasa-biasa saja, jadi ikut-ikutan untuk berusaha tampil mempesona bak bintang iklan Lux di televisi yang selalu dilirik pria kemanapun melangkah (hahaha… LEBAY!!!).

Namun tahukah anda bahwa kebanyakan wanita mengeluh ketika mereka menjalani proses untuk “menjadi cantik”?

Banyak kawan saya mengeluh ketika menjalani program diet. Rasa lapar yang berlebihan, dan perawatan wajah di salon kecantikan yang membuang uang ratusan ribu bahkan jutaan rupiah.

Setiap manusia pasti menyukai kata “cantik” dan “indah”. Karena Allah itu Maha Cantik dan Maha Indah. Begitupun saya yang merasa senang ketika mendengar dua kata itu. Alam yang diciptakan Allah pun indah sekali. Hamparan pantai dengan airnya yang jernih, bukit-bukit yang “ijo royo-royo”, air terjun yang membuat hati menjadi tenang (kecuali kalo ada yang ngintip kita lagi mandi di air terjun itu. kwekekekek…), langit di malam hari dengan jutaan bintang berkilau, bulan dengan indah cahayanya (seperti yang di foto oleh mas Galih Satriaji. hehehe…), pemandangan bumi dari luar angkasa yang bagai permata biru di tempat yang gelap (menurut saya), adanya manusia yang bentuknya begitu sempurna, adanya wanita yang tubuhnya begitu indah, dan masih banyak lagi keindahan dan kecantikan yang Allah ciptakan untuk dijaga dan dipergunakan dengan adil.

Pada hakikatnya, menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, cantik itu ada dua:

  1. Kecantikan Lahir
    Kecantikan lahir adalah perhiasan yang dengannya, Allah mengistimewakan rupa yang satu dengan yang lainnya, yang merupakan nilai lebih yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya.
  2. Kecantikan Batin
    Kecantikan yang dicintai karena zat-nya itu sendiri, yakni kecantikan ilmu, akal, kedermawanan, kesucian diri, dan keberanian.

Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits Shahih “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupamu dan hartamu, tetapi melihat hati dan perbuatanmu“. Namun kecantikan batin inilah yang dapat mempercantik rupa lahiriah seseorang. Sekalipun rupa aslinya biasa saja, tapi si pemilik rupa dapat menutupinya dengan kecantikan, kewibawaan, dan kemanisan, tergantung seberapa banyak ruhnya memperoleh sifat-sifat tersebut.

Definisi dan paragraf diatas saya dapatkan dalam buku “Cantik Luar Dalam” karya Ibn Taymiyyah al-Harrani dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah dari judul aslinya “al-Jamaal: Fadhluh, Haqiqatuh, Aqsaamuh” penerbit Serambi (sekalian saya lengkapi infonya, siapa tahu ada yang berminat untuk membeli bukunya juga. hehehe…). Dengan membaca buku tersebut akhirnya saya menyadari bahwa kecantikan fisik itu penting. Namun kecantikan batin lebih penting lagi karena Allah lebih menyukai seseorang yang cantik hatinya.

Satu lagi, kecantikan lahir itu harus dijaga dan dirawat sebaik-baiknya. Karena Allah telah menciptakan kita dengan bentuk yang sebaik-baiknya, tanpa cacat dan tanpa cela. Maka kita pun harus menjaga dan merawat pemberian Allah itu dengan sebaik-baiknya pula dan bertanggung jawab atas apa yang telah kita perbuat terhadap tubuh kita.

So, jadi cantik??? Siapa takut???